Kamis, 15 Januari 2015

Peta Perbankan Nasional di Bawah Bayangan Permodalan Asing

Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan, dalam harian Bisnis, 8 Mei 2014, mengatakan bahwa pembentukan induk usaha atau holding atas perusahaan-perusahaan plat merah terutama di sektor Industri keuangan, seharusnya dipahami sebagai upaya untuk memperkuat industri dan bertujuan meningkatkan kejayaan negeri, hal ini akan membawa efek positif bagi kelangsungan BUMN Indonesia sendiri dalam rangka menghadapi iklim Masyarakat Ekonomi Asean 2015.

Seperti yang kita ketahui bersama dewasa ini, bahwa investor asing semakin agresif memasuki pasar saham Industri keuangan Indonesia yang dinilai semakin menjanjikan, berdasarkan laporan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada 10 Maret 2014 kemarin, menyatakan kepemilikan asing pada saham perbankan cukup tinggi sekali, setidaknya saat ini jumlah bank asing yang ada di Indonesia 10 bank, bank campuran 14 bank dan bank swasta nasional yang dimiliki asing 19 bank. Sedangkan total kepemilikan modal asing terhadap aset perbankan di Indonesia sendiri dikisaran 50% lebih dari total aset perbankan nasional.

Contohnya seperti PT Bank CIMB Niaga Tbk, yang dimilki oleh CIMB Grop yang berasal dari Malasyia sebanyak 96,70% atau sejumlah 24,3 milliar lembar saham. Selanjutnya saham PT Bank Internasional Indonesia Tbk. (Bii), mayoritas dikuasai oleh Sorak Financial Holdings Pte. Ltd, sebesar 54,33%, sedangkan sebanyak 33,96% saham dimiliki oleh Maybank Offshore Corporate Service (Labuan) Sdn. Bhd. Lantas PT Bank OCBC NISP Tbk., tercatat dikuasai oleh Oversea-Chinese Banking Corporation Ltd, melalui OCBC Overseas Investment Pte. Ltd. yang berdomisili di Singapura, secara keseluruhan, saham emiten berkode NISP itu dikuasai sebesar 85,08%. Bahkan sejumlah korporasi raksasa dunia tengah berekspansi ke pasar domestik, tercatat Sumitomo Mitsui Banking Corp mengakuisisi saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk., tahun lalu, dan masih banyak contoh yang lain.

Hasilnya pun semakin terlihat, seperti yang dikutip dari Investor Dailly, 29 April 2014, bahwa ketergantungan Indonesia terhadap bank asing semakin tinggi, terbukti saat ini 52% kredit dan 56% dana pihak ketiga (DPK) dikuasai oleh asing. Hal ini memang merugikan Indonesia sendiri bila dibiarkan tetap terjadi, karena sudah pasti dengan banyaknya modal asing tersebut, mobilisasi dana masyarakat dan eksploitasi daya beli kelas menengah lewat kredit konsumtif, revenuenya juga akan dinikmati oleh pihak-pihak asing tersebut.

Sementara di sisi ekspansi, perbankan nasional kita malah tidak mudah untuk menembus market di luar negri. Lihat saja sekelas Bank Mandiri hanya mempunyai satu cabang di Singapura, dan tidak diperbolehkan mengeluarkan ATM, selanjutnya jika ingin menambah cabang minimal harus menyetor modal 15 milliar US Dollar (semacam deposit jaminan modal). Contoh lain di China, Bank Mandiri hanya diperbolehkan membuka rekening dalam US Dollar currency, sedangkan Mandiri tidak diperbolehkan memobilisasi currency setempat yaitu Yuan Renmimbi, padahal hampir semua transaksi dalam negri China menggunakan Yuan sebagai currency. Hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia, dimana kita membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi perbankan asing untuk masuk ke Industri keuangan kita.

Indonesia seharusnya bisa berkaca serta belajar dari kasus resesi di Sipurs dan Islandia, dimana rasio permodalan mereka ada di angka 10 kali dari total PDB-nya, tetapi semuanya dikendalikan oleh permodalan asing, sehingga perekonomian di dua negara tersebut pun limbung seiring resesi Zona Euro, hal itulah yang menjadi faktor utama kedua negara tersebut mengalami resesi cukup parah dalam tiga tahun terakhir ini,
Bisa dikatakan dewasa ini hanya Indonesia lah yang paling liberal ketika mengijinkan permodalan masuk ke dalam negri, caba saja kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malasyia, dan Filipina, mereka meregulasi “ketat” permodalan asing untuk melindungi perbankan nasional mereka. Memang dalam kenyataanya, perbankan dalam negri pun masih kalah dalam hal memberikan service, pelayanan dan kenyamanan, seperti suku bunga, dll. Hal itu berbeda dengan perbankan asing yang berasal dari Malasyia ataupun Singapura, mereka lebih maju, lebih mature dan lebih saturated dibandingkan dengan Indonesia sendiri. Masalah permodalan mereka juga kuat, rasio DPK terhadap GDP mereka juga ada di sekitar angka 150%, sedangkan Indonesia sendiri masih stagnan di bawah angka 40% dari GDP, yang artinya pasar dalam negri Indonesia sendiri saja masih belum maksimal dikerjakan oleh perbankan nasional.

Memang dengan semakin banyaknya kompetitor asing dalam Industri keuangan tersebut akan membuat iklim dunia keuangan sendiri semakin kompetitif, dan nasabah sudah tentu saja akan diuntungkan, akan tetapi hitung-hitungan tersebut jika dilakukan secara nasional kita sudah “buntung“, bagaimana tidak profitnya juga pasti akan lari ke negara mereka, sedangkan kita hanya memperoleh sedikit sesuatu yang bernilai secara makro, sedangkan giliran kalau “ada apa-apa” dengan keadaan ekonomi negara asal bank tersebut, maka itu akan berdampak juga pada Bank mereka yang ada di Indonesia, dan ujung-ujungnya Indonesia sendiri yang akan dibuat susah.

Sebenarnya trend seperti ini sudah terjadi semnjak krisis moneter 1998 dahulu, dan terlihat semakin gencar sejak 2005 lalu, terutama semenjak API (arsitektur perbankan Indonesia) di sosialisasikan, jadi ada kemungkinan juga ini adalah salah satu faktor dari hal tersebut. Karena dalam salah satu regulasinya, API mendorong agar pemilik bank memiliki permodalan yang besar (multiple license), sehingga bank-bank yang kecil pun tertekan dan menjual bank-bank-nya, dan Investor asing pun melihat peluang bagus ini dengan banyak melakukan akuisisi bank-bank kecil yang tertekan tadi.

Faktor lain adalah keleluasaan legalisasi dari PP No. 29/1999, serta Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2007 yang merupakan penjabaran dari UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, dimana jumlah dari kepemilikan saham bank, baik oleh WNA (warga negara asing) maupun badan hukum asing, yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui bursa efek sebanyak-banyaknya adalah 99% dari jumlah saham bank yang bersangkutan.

Di sinilah sebetulnya letak permasalahanya, seharusnya dilakukan pengkajian ulang terhadap regulasi tersebut antara Bank Indonesia dengan pemerintah, untuk membatasi kepemilikan permodalan asing tersebut dalam Industri keuangan Indonesia. Jika investor asing dibatasi kepemilikanya, maka investor lokal dapat berkompetisi untuk memiliki lagi saham bank-bank yang kini di dominasi oleh modal asing tersebut, baik melalui BUMN ataupun PIP (pusat Investasi Pemerintah), sehingga kedepanya kita bisa memiliki “alat” untuk menjaga pergerakan bisnis bank yang dimiliki modal asing tersebut, agar lebih “sejalan” dengan kegiatan pembangunan ekonomi Indonesia.

Kita bisa melihat bagaimana Singapura menerapkan regulasi terhadap Industri keuanganya, mereka membatasi dimana bank/modal asing yang berpartisipasi dengan bank lokal mereka kepemilikannya hanya sampai 10% hingga 20%, terlebih dari itu harus memperoleh izin khusus. Demikian juga Malasyia, yang membatasi kepemilikan oleh modal asing hanya diangka 30 % kebawah.

Oleh karena itu sangatlah diperlukan lagi pengkajian dan penataan ulang regulasi di sektor perbankan, mungkin diawali dengan membatasi kepemilikan modal asing seperti yang diterapkan di negara-negara diatas, membatasi pola serta jangka waktu pelepasan saham oleh permodalan asing tersebut, dan penentuan besar-kecilnya bank yang boleh membeli saham bank di Indonesia, Hal ini diupayakan agar modal asing tersebut lebih berkontribusi lagi terhadap pembangunan ekonomi secara riil di Indonesia sendiri.
Langkah Indonesia sebenarnya sudah cukup bagus ketika menandatangani perjanjian Qualified ASEAN Bank (QAB) yang dilakukan bulan April 2014 kemarin, dimana negara-negara kawasan ASEAN telah menyepakati beberapa poin garis pedoman QAB, yang dari beberapa poin tersebut diantaranya adalah asas resiprokal atau asas kesetaraan dimana jika bank asing berinvestasi di Indonesia, maka bank nasional Indonesia boleh berekspansi pula ke negara-negara yang berekspansi ke Indonesia.

Nah inilah kesempatan bagus bagi Indonesia sendiri, dimana harus lebih kokoh lagi bersinergi dalam rangka menyambut masyarakat ekonomi Asean 2015, kesiapan perbankan nasional untuk berekspansi keluar negri dapat dilihat salah satunya berdasarkan kriteria besaran aset , setidaknya bank yang termasuk kategori Bank Umum Kategori Usaha (BUKU) IV atau modal inti di atas Rp 30 triliun, akan lebih siap menjadi peserta QAB tersebut.

Mungkin di titik inilah yang menjadi pertimbangan oleh Mentri BUMN, Dahlan Iskan, untuk melakukan pembentukan induk usaha atau holding atas perusahaan-perusahaan plat merah terutama di sektor Industri keuangan dalam rangka memperkuat posisi perbankan nasional sendiri. Sebagaimana hal itu juga terlihat sudah menjadi trend di regional Asean sendiri, seperti Khasanah (BUMN Malaysia) dan Temasek (BUMN Singapura), yang sejak 5 tahun terakhir gencar sekali melakukan hal tersebut, tujuanya terbaca sangat jelas, yaitu untuk mengefisiensi BOPO dan fokus Cross Selling (Chaneling) dalam rangka persiapan menjelang CAFTA 2015 ini.

Penataan ulang ini memang sangat perlu dilakukan untuk memperkuat permodalan bank-bank lokal dalam menghadapi era integrasi ekonomi ASEAN tahun 2015, karena di saat itu si pemegang aliran modal yang paling kuatlah yang notabene akan memenangkan game ini. Yap, langkahnya sudah bagus, tetapi masih butuh banyak pengkajian lagi untuk keadaan yang lebih baik tentunya, semoga pemerintah selanjutnya lebih baik lagi dalam menghadapi dan mengatasi persoalan ini.

Sumber Kompasiana.com

Pemasaran Internasional dan Untuk Organisasi Nirlaba



Pemasaran Internasional
Perusahaan-perusahaan multinasional atau mungkin lebih tepat dikatakan perusahaan transnasional banyak dijumpai di Indonesia. Perusahaan Coca-cola, IBM, Unilever, Nestle adalah sebagian perusahaan transnasional, yaitu perusanaan-perusahaan yang mempunyai kegiatan operasi di luar batas wilayah geografis suatu negara.
Pemasaran internasional dalam hal ini nampak lebih beresiko dan lebih kompleks jika dibanding dengan kegiatan pemasaran yang berlingkup domestik. Beberapa hal yang menyebabkan perancangan strategi untuk pemasaran internasional begitu kompeks antara lain adalah:
1. Perbedaan kultural: banyak kasus dijumpai bahwa rancangan strategi pemsaran yang diterapkan di Indonesia tidak dapat diterapkan di negara lain, begitu pula sebaliknya.
2. Perbedaan media: strategi pengiklanan seringkali juga tidak dapat dipergunakan secara universal. Sebagai contoh, model-model iklan yang cukup sensual dan menonjolkan keindahan tubuh sangat jarang dijumpai pacta negara-negara yang menganut ajaran muslim ketat.
3. Perbedaan dalam pola berbisnis: cara orang Amerika melakukan kegiatan bisnis seringkali dianggap hal yang aneh bagi bangsa-bangsa di banyak negara atau demikian pula sebaliknya. Penghargaan atas waktu, pembuatan perjanjian, dan cara seseorang memperoleh keuntungan adalah sebagian dari pola bisnis yang berbeda antar negara, yang pacta akhirnya membawa perbedaan dalam merancang strategi pemsarannya.

Pemasaran Untuk Organisasi Nirlaba
Satu bidang garap pemasaran yang relatif baru dikembangkan adalah pemasaran untuk organisasi nirlaba. Museum, rumah sakit, lembaga pendidikan, dan organisasi massa adalah merupakan bentuk-bentuk organisasi yang kinijuga membutuhkan sentuhan bidang pemasaran. Pemasaran untuk bentuk -bentuk organisasi tersebut sering juga dikenal dengan pemasaran sosial (social marketing).
Beberapa perbedaan mendasar kegiatan pemasaran untuk organisasi yang berorientasi profit dan organisasi nirlaba adalah:
1. Orientasinya pada isu publik (kesehatan, ekologi)
2. Lebih banyak mendapat sorotan massa
3. Banyak tergantung pada donasi.

B. Tahapan Proses Produksi



Produksi dimaksudkan sebagai aktivitas mengubah sesuatu produk (bahan), menjadi produk lain yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Aktivitas mengubah bahan, berarti suatu proses kerja yang membutuhkan pengorbanan ekonomis guna memperoleh nilai ekonomis yang dipandang lebih tinggi. Proses produksi pada umumnya melalui beberapa tahapan. Hal ini dilakukan dengan maksud mengadakan spesialisasi pengerjaan produk yang dihasilkan. Spesialisasi tersebut mengakibatkan adanya departemenisasi proses produksi. Sebagai contoh, untuk membuat sebuah meja tulis, sejak pembuatan design, proses penggergajian kayu, perangkaian komponen meja tulis, sampai dengan penyelesaian meja tulis tersebut dapat dikerjakan oleh satu orang saja. 

Cara produksi semacam itu menjadi tidak ekonomis, karena hasil kerja yang diperoleh sedikit. Oleh karenanya untuk meningkatkan kuantitas meja tulis yang dihasilkan, pekerjaan dibagi menjadi beberapadepartemen sesuai dengan pentahapan pembuatan meja tulis tersebut. Sebagai akibatnya pengerjakan sebuah meja tulis tidak mungkin dikerjakan oleh satu orang saja. Spesialisasi penanganan tugas semacam ini akan menjadi lebih ekonomis apabila produk yang dihasilkan dalam jumlah yang cukup banyak. Meskipun antara meja tulis yang satu dengan yang lain terdapat variasi bentuk, proses produksi akan tetap lebih dinamis. Setiap tahapan proses produksi tersebut pada dasarnya tidak dapat berdiri sendirisendiri. Kesemuanya harus merupakan satu rangkaian yang terkoordinasikan. Dengan adanya koordinasi terse but alur produk dari departemen yang satu ke departemen lainnya harus sama. Hal ini agar tidak terjadi penyumbatan dalam salah satu tahapan proses produksi tersebut.

Setiap tahapan proses produksi tersebut harus dibantu oleh departemen lain yang membantu berfungsinya suatu departemen. Departemen semacam ini disebut departemen pembantu. Departemen pembantu adalah departemen yang memberikan layanan pada departemen produksi sesuai dengan fungsinya. Departemen pembantu biasanya berupa departemen listrik, departemen pemeliharaan peralatan, departemen air dan sanitasi, dan lain-lain. Biaya-biaya yang terjadi pada departemen pembantu pada dasarnya juga ikut memberi kontribusi pembuatan suatu produk. Oleh karenanya biaya-biaya yang terjadi di departemen pembantupun juga harus ikut dibebankan dalarn penentuan kos produk. Peranan departemen pembantu dalam menghasilkan suatu produk harus diakui.
Namun demikian pembebanan biaya yang terjadi pada departemen pembantu ke produk yang dihasilkan tidak dapat dilakukan secara langsung ke produk. Terlebih dahulu harus dilakukan alokasi biaya ke departemen produksi yang menikmati jasa yang diserahkan oleh departemen pembantu tersebut. Pembebanan biaya dari departemen pembantu langsung ke produk akan mengakibatkan kos produk terlalu tinggi dan sebaliknya kos produk yang masih dalam proses menjadi lebih rendah (understated).
Proses produksi suatu barang selalu menggunakan cara-cara tertentu agar tujuan ekonomis perusahaan dapat dicapai. Cara produksi yang digunakan tergantung oleh:

a. Sifat-sifat produk yang dihasilkan.
Apabila produk yang dihasilkan memerlukan penanganan khusus sehingga masingmasing produk mempunyai spesifikasi tertentu, maka produk terse but diproses secara khusus pula. Produk semacam ini diolah dengan metode job, artinya setiap job harus memperhatikan spesifikasi yang diminta oleh langganan (konsumen). Produk yang diolah dengan metode proses menunjukkan bahwa barang yang dihasilkan tidak memerlukan spesifikasi tertentu sehingga produk bersifat homogen. Dalam artian homogen ini, antara produk yang satu dengan yang lainnya tidak terdapat perbedaan yang berarti. Jadi, produk yang dihasilkan bersifat standard, bahkan hal ini menunjukkan semua produk yang dihasilkan membutuhkan kesamaan bentuk, ukuran, warna, dan kesamaan fungsi.

b. Teknologi yang digunakan.
Perbedaan teknologi pembuatan suatu barang yang berbeda mengakibatkan cara-cara berproduksi yang berbeda pula. Sebagai contoh, industri mobil pada mulanya dibuat satu per satu dengan memperhatikan spesifikasi permintaan pelanggan, namun setelah ditemukan teknologi robot dengan proses ban berjalan, maka pembuatan produk tersebut dapat dibuat secara massal dM produk bersifat standard. Kadangkala teknologi yang digunakan menunjukkan satu-satunya cara dalam pembuatan produk tersebut, hal ini akan kita temukan dalam industri kimia.

c. Sifat pengolahan produk.
Pengolahan produk terdiri dari dua sifat yaitu merakit komponen menjadi suatu produk dan membentuk produk melalui proses reaksi kimiawi. Dalam proses perakitan (assembling), berbagai komponen yang ada (baik dibuat sendiri maupun diperoleh dari pihak lain) digabungkan menjadi suatu produk. Sedangkan dalam proses reaksi kimiawi beberapa bah an digabung, dicampur dan dibentuk menjadi suatu produk baik berupa komponen maupun produk akhir. Pembahasan di atas menunjukkan metode produksi yang digunakan dalam suatu perusahaan didasarkan dua alasan, yaitu:
a. Alasan ekonomis, mengingat besarnya permintaan pasar serta skala produksi yang dikehendaki, maka dipilih teknologi maju agar produk yang dihasilkan mampu meraih pasar yang dikehendaki.

b. Alasan teknologi, Teknologi yang digunakan merupakan satu-satunya cara untuk menghasilkan suatu produk. Hal ini akan ditemukan untuk industri kimia. Scbagian bcsar industri kimia hams diolah dengan mctode proses, mengingat industri semacam ini mcmbutuhkan proses produksi yang bersifat tertutup. Sebagai contoh: industry semen, industri gula, dan lain-lain.

Proses produksi menghendaki adanya spesialisasi pelaksanaan pekerjaan diantara karyawan yang terlibat. Hal ini dimaksudkan agar proses produksi menjadi lebih bcrdaya guna dan berhasil guna. Spesialisasi menyebabkan pembuatan suatu produk tidak mungkin diselesaikan oleh hanya satu orang saja, tetapi diselcsaikan oleh suatu team kerja dengan pembagian tugas sesuai dengan keahliannya masing-masing. Pembagian kerja pada suatu industri baik secara horisontal maupun vertical dikelompokkan menurut fungsi/tugas masing-masing. Pengelompokan secara vertical menunjukkan adanya dcpartementalisasi pelaksanaan operasi. Hal ini dimaksudkan agar pengendalian tugas dan pengawasan mutu produk yang dihasilkan dapat diselenggarakan dengan mudah. Kelompok utama dalam 3 departementalisasi ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Departemen Produksi, yakni departemen-departemen yang secara langsung ikut menangani pembuatan suatu produk. Departemen tersebut meliputi aktivitas pengolahan bahan, penggabungan produk dalam proses dan penyempumaan produk.
2. Departemen Pembantu, yakni departemen yang tidak langsung menangani pembuatan produk, tetapi output yang dihasilkan membantu departemen produksi dalam pengolahan produk.

Kelompok utama tersebut meninjau dari sudut peranan dalam penanganan produk. Pengelompokan selanjutnya didasarkan pada fungsi/bidang tug as masing-masing. Pengelompokan ini di samping sebagai alat pengawasan bcrperan pula sebagai pusat pertanggungjawaban baik kuantitas maupun kualitasnya. Pengukuran unjuk -kerja masingmasing bagian/departemen tersebut dinilai seberapakah variasi biaya yang terjadi. Jadi pelaporan biaya yang terjadi pada masing-masing departemen mempunyai peranan sangat penting. Di samping itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu pula disusun tarip overhead untuk tiap departemen secara cermat. Faktor yang dipertimbangkan dalam departemenisasi antara lain:
1. Kesamaan operasi, proses dan mesin dalam suatu departemen.
2. Lokasi operasi, pemrosesan dan mesin-mesin.
3. Pertanggungjawaban produksi dan biaya.
4. Hubungan operasi terhadap arus produk.
5. Jumlah departemen dan pusat-pusat biaya.

Spesialisasi pekerjaan menyebabkan proses pengolahan barang dilakukan melalui beberapa departemen. Spesialisasi dilakukan agar pengolahan produk menjadi lebih efisien atau teknologi pengolahan produk memang menghendaki beberapa tahapan proses secara berurutan. Apabila diamati pentahapan proses produksi dapat dibagi menjadi tiga macam sekuen proses produksi, yaitu:
1. Teknik pengolahan aliran produk bertahap.
2. Teknik pengolahan aliran paralel.
3. Teknik pengolahan aliran produk selektip.

A. Konsep Manajemen Dalam Pengendalian Biaya



Manajemen puncak terdiri dari orang-orang yang bertugas mengambil keputusan, memberikan perintah, membentuk kebijaksanaan, dan mengarahkan agar semua orang mendukung kebijaksanaan perusahaan. Secara keseluruhan fungsi manajemen meliputi fungsi perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian. Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Fungsi-fungsi terse but dibentuk mengingat dalam suatu perusahaan akan terlibat. orang-orang yang mendukung berjalannya suatu organisasi. Masing-masing orang mempunyai peranan yang berbeda dan kesemuanya terlibat aktivitas kerja dalam mencapai satu tujuan bersama (yang disepakati). Untuk mencapai tujuan terse but diperlukannya adanya satu komando agar pelaksanaan tugas dapat terkoordinir. Satu komando ini diperlukan untuk mehgarahkan berbagai pihak yang terlibat dalam suatu jalinan kerjasama sehingga tujuan bersama dapat dicapai dengan efisien.

Mengingat masing-masing pihak mempunyai peranan yang berbeda dan sekaligus menciptakan kerjasama, maka perlu ditetapkan batas-batas yang jelas agar aktivitas kerjamasing-masing pihak tidak saling tumpang tindih. Oleh karena itu masing-masing fungsi dalam 'organisasi harus ditetapkan sampai sejauh mana wewenang seseorang dalarn fungsi danjabatan yang terlekat pada dirinya (authority). Di samping itu harus ditetapkan pula tanggung jawab (responbility) dan tingkat pertanggungjawaban (accountability) dalam tugas dan jabatannya tersebut.

Dalarn rangka pengendalian operasi perusahaan manajemen ingin memperoleh umpan balik (feedback) sarnpai sejauh mana wewenang yang telah didelegasikan kepada bawahan telah digunakan dengan sebaik -baiknya. Urn pan balik ini berupa informasi yang dapatmemberikan garnbaran pelaksanaan tugas para bawahan yang meliputi seberapakah target operasi telah terpenuhi dan sejauh mana operasi tersebut telah menyerap dana perusahaan. Hal ini berarti umpan balik yang diharapkan akan berupa berapa biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalarn satu periode dan berapa kuantitas yang dihasilkannya.

Apabila umpan balik tersebut diterapkan dalam suatu industri maka akan terlihat komposisi umpan balik dalam proses produksi akan memegang peranan yang dominan. Hal ini mengingat aktivitas produksi merupakan aktivitas utama dalam perusahaan tersebut. Sehingga umpan balik tersebut bermanfaat untuk menilai apakah target telah tercapai dan seberapa jauh prestasi yang dicapai oleh aparat produksi yang dimiliki perusahaan.

Pemasaran Industri dan Pemasaran Jasa



Pemasaran Industrial (Industrial Marketing)
Pengertian pemasaran industrial dalam hal ini akan ban yak berkaitan dengan pemenuhan barang-barang yang dibeli untuk tujuan proses produksi lebih lajut atau dijual kembali. Oleh sebab itu pembahasannya akan lebih tepat untuk perusahaan-perusahaan manufaktur. Pada umumnya pemenuhan barang-barang pada pasar industurial dilakukan oleh pembeli organisasional. Artinya, kelompok pembeli yang melakukan transaksi terdiri atas lembaga atau bentuk organisasi yang mewakili individu-individu. Oleh karenanya sering disebut pemasaran industrial sebagai pemasaran organisasional. 

Prinsip dasar yang dikembangkan dalam perancangan strategi pemasaran untuk pembeli industrial atau organisasional dan pembeli akhir adalah sama. Hanya saja yang membedakan adalah pada aplikasinya. Dibanding dengan pembeli pada pasar konsumen, pembeli industrial atau organisasional pada umumnya menuntut pemenuhan kebutuhan barang yang relative lebih kompleks. Pada umumnya mereka juga memerlukan negosiasi tentang harga dan pelayanan sebelum keputusan pembelian dilakukan.

Dalam kondisi semacam itu, penjual industrial atau organisasional harus mengembangkan strategi peinasaran yang mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan pembeli industrial. Penjualan dengan kontak langsung atau personal selling pada umumnya dianggap cara yang ampuh untuk memberi informasi a tau mempengaruhi cal on pembeli industrial. Sementara itu. pengiklanan umumnya akan lebih didominasi untuk mempengaruhi atau membujuk untuk pasa konsumen. Lebih dari itu, proses pengembangan produk baru juga terdapat perbedaan.

Pengembangan teknologi dianggap hal yang begitu penting pada pasar industrial disbanding dengan pasar konsumen. Hanya saja, dalam praktik ban yak diamati bahwa pasar industrial cenderung "tertinggal" dalam mengadopsi konsep pemasaran, target pasar, posisi produk, dan penggunaan riset konsumen untuk mengetahui kebutuhan calon-calon konsumen. Dalam perkembangan terakhir pemasaran industrialjustru kini yang ban yak dipergunakan sebagai pemicu kegiatan bisnis.

Pemasaran Jasa
Perkembangan sektor jasa pacta umumnya akan mengikuti perkembangan perekonomian negara pacta umumnya. Pemasaran jasa, dalam hal ini juga akan bervariasi mengikuti pola perkembangan perekonomian yang ada. Munculnya lembaga perbankan, broker, restaurant, hotel, asuransi, museum, dan theatre adalah merupakan indikasi berkembangnya sektor jasa. Kegiatan pemasaran jasa, dalam hal-hal tertentu, akan berbeda dengan model pemasaran yang dikembangkan untuk pemasaran barang. Jasa tidak dapat didistribusikan atau disimpan seperti halnya dengan barang. Selain itu jasa juga tidak dapat ditransfer dari pedagang besar ke pengecer dan pacta akhirnta ke konsumen. Pacta umumnya jasa ditransfer langsung dari produsen ke konsumen. Lebih dari itu, jasa lebih bervariasi dibanding dengan barang sehingga kadangkala sukar untuk distandardisasi. Sebagai contoh, standar pelayanan untuk bank mestinya juga berbeda dengan stan dar pelayanan untuk restaurant.