Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan, dalam harian Bisnis,
8 Mei 2014, mengatakan bahwa pembentukan induk usaha atau holding atas
perusahaan-perusahaan plat merah terutama di sektor Industri keuangan,
seharusnya dipahami sebagai upaya untuk memperkuat industri dan
bertujuan meningkatkan kejayaan negeri, hal ini akan membawa efek
positif bagi kelangsungan BUMN Indonesia sendiri dalam rangka menghadapi
iklim Masyarakat Ekonomi Asean 2015.
Seperti yang kita ketahui bersama dewasa ini, bahwa investor asing
semakin agresif memasuki pasar saham Industri keuangan Indonesia yang
dinilai semakin menjanjikan, berdasarkan laporan PT Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI) pada 10 Maret 2014 kemarin, menyatakan kepemilikan
asing pada saham perbankan cukup tinggi sekali, setidaknya saat ini
jumlah bank asing yang ada di Indonesia 10 bank, bank campuran 14 bank
dan bank swasta nasional yang dimiliki asing 19 bank. Sedangkan total
kepemilikan modal asing terhadap aset perbankan di Indonesia sendiri
dikisaran 50% lebih dari total aset perbankan nasional.
Contohnya seperti PT Bank CIMB Niaga Tbk, yang dimilki oleh CIMB Grop
yang berasal dari Malasyia sebanyak 96,70% atau sejumlah 24,3 milliar
lembar saham. Selanjutnya saham PT Bank Internasional Indonesia Tbk.
(Bii), mayoritas dikuasai oleh Sorak Financial Holdings Pte. Ltd,
sebesar 54,33%, sedangkan sebanyak 33,96% saham dimiliki oleh Maybank
Offshore Corporate Service (Labuan) Sdn. Bhd. Lantas PT Bank OCBC NISP
Tbk., tercatat dikuasai oleh Oversea-Chinese Banking Corporation Ltd,
melalui OCBC Overseas Investment Pte. Ltd. yang berdomisili di
Singapura, secara keseluruhan, saham emiten berkode NISP itu dikuasai
sebesar 85,08%. Bahkan sejumlah korporasi raksasa dunia tengah
berekspansi ke pasar domestik, tercatat Sumitomo Mitsui Banking Corp
mengakuisisi saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk., tahun lalu,
dan masih banyak contoh yang lain.
Hasilnya pun semakin terlihat, seperti yang dikutip dari Investor Dailly,
29 April 2014, bahwa ketergantungan Indonesia terhadap bank asing
semakin tinggi, terbukti saat ini 52% kredit dan 56% dana pihak ketiga
(DPK) dikuasai oleh asing. Hal ini memang merugikan Indonesia sendiri
bila dibiarkan tetap terjadi, karena sudah pasti dengan banyaknya modal
asing tersebut, mobilisasi dana masyarakat dan eksploitasi daya beli
kelas menengah lewat kredit konsumtif, revenuenya juga akan dinikmati oleh pihak-pihak asing tersebut.
Sementara di sisi ekspansi, perbankan nasional kita malah tidak mudah
untuk menembus market di luar negri. Lihat saja sekelas Bank Mandiri
hanya mempunyai satu cabang di Singapura, dan tidak diperbolehkan
mengeluarkan ATM, selanjutnya jika ingin menambah cabang minimal harus
menyetor modal 15 milliar US Dollar (semacam deposit jaminan modal).
Contoh lain di China, Bank Mandiri hanya diperbolehkan membuka rekening
dalam US Dollar currency, sedangkan Mandiri tidak diperbolehkan
memobilisasi currency setempat yaitu Yuan Renmimbi, padahal hampir
semua transaksi dalam negri China menggunakan Yuan sebagai currency. Hal
ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia,
dimana kita membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi perbankan asing
untuk masuk ke Industri keuangan kita.
Indonesia seharusnya bisa berkaca serta belajar dari kasus resesi di
Sipurs dan Islandia, dimana rasio permodalan mereka ada di angka 10 kali
dari total PDB-nya, tetapi semuanya dikendalikan oleh permodalan asing,
sehingga perekonomian di dua negara tersebut pun limbung seiring resesi
Zona Euro, hal itulah yang menjadi faktor utama kedua negara tersebut
mengalami resesi cukup parah dalam tiga tahun terakhir ini,
Bisa dikatakan dewasa ini hanya Indonesia lah yang paling liberal ketika
mengijinkan permodalan masuk ke dalam negri, caba saja kita bandingkan
dengan negara tetangga seperti Singapura, Malasyia, dan Filipina, mereka
meregulasi “ketat” permodalan asing untuk melindungi perbankan nasional
mereka. Memang dalam kenyataanya, perbankan dalam negri pun masih kalah
dalam hal memberikan service, pelayanan dan kenyamanan, seperti suku
bunga, dll. Hal itu berbeda dengan perbankan asing yang berasal dari
Malasyia ataupun Singapura, mereka lebih maju, lebih mature dan lebih
saturated dibandingkan dengan Indonesia sendiri. Masalah permodalan
mereka juga kuat, rasio DPK terhadap GDP mereka juga ada di sekitar
angka 150%, sedangkan Indonesia sendiri masih stagnan di bawah angka 40%
dari GDP, yang artinya pasar dalam negri Indonesia sendiri saja masih
belum maksimal dikerjakan oleh perbankan nasional.
Memang dengan semakin banyaknya kompetitor asing dalam Industri keuangan
tersebut akan membuat iklim dunia keuangan sendiri semakin kompetitif,
dan nasabah sudah tentu saja akan diuntungkan, akan tetapi
hitung-hitungan tersebut jika dilakukan secara nasional kita sudah “buntung“,
bagaimana tidak profitnya juga pasti akan lari ke negara mereka,
sedangkan kita hanya memperoleh sedikit sesuatu yang bernilai secara
makro, sedangkan giliran kalau “ada apa-apa” dengan keadaan
ekonomi negara asal bank tersebut, maka itu akan berdampak juga pada
Bank mereka yang ada di Indonesia, dan ujung-ujungnya Indonesia sendiri
yang akan dibuat susah.
Sebenarnya trend seperti ini sudah terjadi semnjak krisis moneter 1998
dahulu, dan terlihat semakin gencar sejak 2005 lalu, terutama semenjak
API (arsitektur perbankan Indonesia) di sosialisasikan, jadi
ada kemungkinan juga ini adalah salah satu faktor dari hal tersebut.
Karena dalam salah satu regulasinya, API mendorong agar pemilik bank
memiliki permodalan yang besar (multiple license), sehingga
bank-bank yang kecil pun tertekan dan menjual bank-bank-nya, dan
Investor asing pun melihat peluang bagus ini dengan banyak melakukan
akuisisi bank-bank kecil yang tertekan tadi.
Faktor lain adalah keleluasaan legalisasi dari PP No. 29/1999, serta
Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2007 yang merupakan penjabaran dari
UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, dimana jumlah dari kepemilikan
saham bank, baik oleh WNA (warga negara asing) maupun badan hukum asing,
yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui bursa
efek sebanyak-banyaknya adalah 99% dari jumlah saham bank yang
bersangkutan.
Di sinilah sebetulnya letak permasalahanya, seharusnya dilakukan
pengkajian ulang terhadap regulasi tersebut antara Bank Indonesia dengan
pemerintah, untuk membatasi kepemilikan permodalan asing tersebut dalam
Industri keuangan Indonesia. Jika investor asing dibatasi
kepemilikanya, maka investor lokal dapat berkompetisi untuk memiliki
lagi saham bank-bank yang kini di dominasi oleh modal asing tersebut,
baik melalui BUMN ataupun PIP (pusat Investasi Pemerintah), sehingga
kedepanya kita bisa memiliki “alat” untuk menjaga pergerakan bisnis bank yang dimiliki modal asing tersebut, agar lebih “sejalan” dengan kegiatan pembangunan ekonomi Indonesia.
Kita bisa melihat bagaimana Singapura menerapkan regulasi terhadap
Industri keuanganya, mereka membatasi dimana bank/modal asing yang
berpartisipasi dengan bank lokal mereka kepemilikannya hanya sampai 10%
hingga 20%, terlebih dari itu harus memperoleh izin khusus. Demikian
juga Malasyia, yang membatasi kepemilikan oleh modal asing hanya diangka
30 % kebawah.
Oleh karena itu sangatlah diperlukan lagi pengkajian dan penataan ulang
regulasi di sektor perbankan, mungkin diawali dengan membatasi
kepemilikan modal asing seperti yang diterapkan di negara-negara diatas,
membatasi pola serta jangka waktu pelepasan saham oleh permodalan asing
tersebut, dan penentuan besar-kecilnya bank yang boleh membeli saham
bank di Indonesia, Hal ini diupayakan agar modal asing tersebut lebih
berkontribusi lagi terhadap pembangunan ekonomi secara riil di Indonesia
sendiri.
Langkah Indonesia sebenarnya sudah cukup bagus ketika menandatangani perjanjian Qualified ASEAN Bank
(QAB) yang dilakukan bulan April 2014 kemarin, dimana negara-negara
kawasan ASEAN telah menyepakati beberapa poin garis pedoman QAB, yang
dari beberapa poin tersebut diantaranya adalah asas resiprokal atau asas
kesetaraan dimana jika bank asing berinvestasi di Indonesia, maka bank
nasional Indonesia boleh berekspansi pula ke negara-negara yang
berekspansi ke Indonesia.
Nah inilah kesempatan bagus bagi Indonesia sendiri, dimana harus lebih
kokoh lagi bersinergi dalam rangka menyambut masyarakat ekonomi Asean
2015, kesiapan perbankan nasional untuk berekspansi keluar negri dapat
dilihat salah satunya berdasarkan kriteria besaran aset , setidaknya
bank yang termasuk kategori Bank Umum Kategori Usaha (BUKU) IV atau
modal inti di atas Rp 30 triliun, akan lebih siap menjadi peserta QAB
tersebut.
Mungkin di titik inilah yang menjadi pertimbangan oleh Mentri BUMN,
Dahlan Iskan, untuk melakukan pembentukan induk usaha atau holding atas
perusahaan-perusahaan plat merah terutama di sektor Industri keuangan
dalam rangka memperkuat posisi perbankan nasional sendiri. Sebagaimana
hal itu juga terlihat sudah menjadi trend di regional Asean sendiri,
seperti Khasanah (BUMN Malaysia) dan Temasek (BUMN Singapura), yang
sejak 5 tahun terakhir gencar sekali melakukan hal tersebut, tujuanya
terbaca sangat jelas, yaitu untuk mengefisiensi BOPO dan fokus Cross
Selling (Chaneling) dalam rangka persiapan menjelang CAFTA 2015 ini.
Penataan ulang ini memang sangat perlu dilakukan untuk memperkuat
permodalan bank-bank lokal dalam menghadapi era integrasi ekonomi ASEAN
tahun 2015, karena di saat itu si pemegang aliran modal yang paling
kuatlah yang notabene akan memenangkan game ini. Yap, langkahnya sudah
bagus, tetapi masih butuh banyak pengkajian lagi untuk keadaan yang
lebih baik tentunya, semoga pemerintah selanjutnya lebih baik lagi dalam
menghadapi dan mengatasi persoalan ini.
Sumber Kompasiana.com