Kamis, 15 Januari 2015

Peta Perbankan Nasional di Bawah Bayangan Permodalan Asing

Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan, dalam harian Bisnis, 8 Mei 2014, mengatakan bahwa pembentukan induk usaha atau holding atas perusahaan-perusahaan plat merah terutama di sektor Industri keuangan, seharusnya dipahami sebagai upaya untuk memperkuat industri dan bertujuan meningkatkan kejayaan negeri, hal ini akan membawa efek positif bagi kelangsungan BUMN Indonesia sendiri dalam rangka menghadapi iklim Masyarakat Ekonomi Asean 2015.

Seperti yang kita ketahui bersama dewasa ini, bahwa investor asing semakin agresif memasuki pasar saham Industri keuangan Indonesia yang dinilai semakin menjanjikan, berdasarkan laporan PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) pada 10 Maret 2014 kemarin, menyatakan kepemilikan asing pada saham perbankan cukup tinggi sekali, setidaknya saat ini jumlah bank asing yang ada di Indonesia 10 bank, bank campuran 14 bank dan bank swasta nasional yang dimiliki asing 19 bank. Sedangkan total kepemilikan modal asing terhadap aset perbankan di Indonesia sendiri dikisaran 50% lebih dari total aset perbankan nasional.

Contohnya seperti PT Bank CIMB Niaga Tbk, yang dimilki oleh CIMB Grop yang berasal dari Malasyia sebanyak 96,70% atau sejumlah 24,3 milliar lembar saham. Selanjutnya saham PT Bank Internasional Indonesia Tbk. (Bii), mayoritas dikuasai oleh Sorak Financial Holdings Pte. Ltd, sebesar 54,33%, sedangkan sebanyak 33,96% saham dimiliki oleh Maybank Offshore Corporate Service (Labuan) Sdn. Bhd. Lantas PT Bank OCBC NISP Tbk., tercatat dikuasai oleh Oversea-Chinese Banking Corporation Ltd, melalui OCBC Overseas Investment Pte. Ltd. yang berdomisili di Singapura, secara keseluruhan, saham emiten berkode NISP itu dikuasai sebesar 85,08%. Bahkan sejumlah korporasi raksasa dunia tengah berekspansi ke pasar domestik, tercatat Sumitomo Mitsui Banking Corp mengakuisisi saham PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk., tahun lalu, dan masih banyak contoh yang lain.

Hasilnya pun semakin terlihat, seperti yang dikutip dari Investor Dailly, 29 April 2014, bahwa ketergantungan Indonesia terhadap bank asing semakin tinggi, terbukti saat ini 52% kredit dan 56% dana pihak ketiga (DPK) dikuasai oleh asing. Hal ini memang merugikan Indonesia sendiri bila dibiarkan tetap terjadi, karena sudah pasti dengan banyaknya modal asing tersebut, mobilisasi dana masyarakat dan eksploitasi daya beli kelas menengah lewat kredit konsumtif, revenuenya juga akan dinikmati oleh pihak-pihak asing tersebut.

Sementara di sisi ekspansi, perbankan nasional kita malah tidak mudah untuk menembus market di luar negri. Lihat saja sekelas Bank Mandiri hanya mempunyai satu cabang di Singapura, dan tidak diperbolehkan mengeluarkan ATM, selanjutnya jika ingin menambah cabang minimal harus menyetor modal 15 milliar US Dollar (semacam deposit jaminan modal). Contoh lain di China, Bank Mandiri hanya diperbolehkan membuka rekening dalam US Dollar currency, sedangkan Mandiri tidak diperbolehkan memobilisasi currency setempat yaitu Yuan Renmimbi, padahal hampir semua transaksi dalam negri China menggunakan Yuan sebagai currency. Hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia, dimana kita membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi perbankan asing untuk masuk ke Industri keuangan kita.

Indonesia seharusnya bisa berkaca serta belajar dari kasus resesi di Sipurs dan Islandia, dimana rasio permodalan mereka ada di angka 10 kali dari total PDB-nya, tetapi semuanya dikendalikan oleh permodalan asing, sehingga perekonomian di dua negara tersebut pun limbung seiring resesi Zona Euro, hal itulah yang menjadi faktor utama kedua negara tersebut mengalami resesi cukup parah dalam tiga tahun terakhir ini,
Bisa dikatakan dewasa ini hanya Indonesia lah yang paling liberal ketika mengijinkan permodalan masuk ke dalam negri, caba saja kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malasyia, dan Filipina, mereka meregulasi “ketat” permodalan asing untuk melindungi perbankan nasional mereka. Memang dalam kenyataanya, perbankan dalam negri pun masih kalah dalam hal memberikan service, pelayanan dan kenyamanan, seperti suku bunga, dll. Hal itu berbeda dengan perbankan asing yang berasal dari Malasyia ataupun Singapura, mereka lebih maju, lebih mature dan lebih saturated dibandingkan dengan Indonesia sendiri. Masalah permodalan mereka juga kuat, rasio DPK terhadap GDP mereka juga ada di sekitar angka 150%, sedangkan Indonesia sendiri masih stagnan di bawah angka 40% dari GDP, yang artinya pasar dalam negri Indonesia sendiri saja masih belum maksimal dikerjakan oleh perbankan nasional.

Memang dengan semakin banyaknya kompetitor asing dalam Industri keuangan tersebut akan membuat iklim dunia keuangan sendiri semakin kompetitif, dan nasabah sudah tentu saja akan diuntungkan, akan tetapi hitung-hitungan tersebut jika dilakukan secara nasional kita sudah “buntung“, bagaimana tidak profitnya juga pasti akan lari ke negara mereka, sedangkan kita hanya memperoleh sedikit sesuatu yang bernilai secara makro, sedangkan giliran kalau “ada apa-apa” dengan keadaan ekonomi negara asal bank tersebut, maka itu akan berdampak juga pada Bank mereka yang ada di Indonesia, dan ujung-ujungnya Indonesia sendiri yang akan dibuat susah.

Sebenarnya trend seperti ini sudah terjadi semnjak krisis moneter 1998 dahulu, dan terlihat semakin gencar sejak 2005 lalu, terutama semenjak API (arsitektur perbankan Indonesia) di sosialisasikan, jadi ada kemungkinan juga ini adalah salah satu faktor dari hal tersebut. Karena dalam salah satu regulasinya, API mendorong agar pemilik bank memiliki permodalan yang besar (multiple license), sehingga bank-bank yang kecil pun tertekan dan menjual bank-bank-nya, dan Investor asing pun melihat peluang bagus ini dengan banyak melakukan akuisisi bank-bank kecil yang tertekan tadi.

Faktor lain adalah keleluasaan legalisasi dari PP No. 29/1999, serta Peraturan Presiden (Perpres) No. 77/2007 yang merupakan penjabaran dari UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal, dimana jumlah dari kepemilikan saham bank, baik oleh WNA (warga negara asing) maupun badan hukum asing, yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui bursa efek sebanyak-banyaknya adalah 99% dari jumlah saham bank yang bersangkutan.

Di sinilah sebetulnya letak permasalahanya, seharusnya dilakukan pengkajian ulang terhadap regulasi tersebut antara Bank Indonesia dengan pemerintah, untuk membatasi kepemilikan permodalan asing tersebut dalam Industri keuangan Indonesia. Jika investor asing dibatasi kepemilikanya, maka investor lokal dapat berkompetisi untuk memiliki lagi saham bank-bank yang kini di dominasi oleh modal asing tersebut, baik melalui BUMN ataupun PIP (pusat Investasi Pemerintah), sehingga kedepanya kita bisa memiliki “alat” untuk menjaga pergerakan bisnis bank yang dimiliki modal asing tersebut, agar lebih “sejalan” dengan kegiatan pembangunan ekonomi Indonesia.

Kita bisa melihat bagaimana Singapura menerapkan regulasi terhadap Industri keuanganya, mereka membatasi dimana bank/modal asing yang berpartisipasi dengan bank lokal mereka kepemilikannya hanya sampai 10% hingga 20%, terlebih dari itu harus memperoleh izin khusus. Demikian juga Malasyia, yang membatasi kepemilikan oleh modal asing hanya diangka 30 % kebawah.

Oleh karena itu sangatlah diperlukan lagi pengkajian dan penataan ulang regulasi di sektor perbankan, mungkin diawali dengan membatasi kepemilikan modal asing seperti yang diterapkan di negara-negara diatas, membatasi pola serta jangka waktu pelepasan saham oleh permodalan asing tersebut, dan penentuan besar-kecilnya bank yang boleh membeli saham bank di Indonesia, Hal ini diupayakan agar modal asing tersebut lebih berkontribusi lagi terhadap pembangunan ekonomi secara riil di Indonesia sendiri.
Langkah Indonesia sebenarnya sudah cukup bagus ketika menandatangani perjanjian Qualified ASEAN Bank (QAB) yang dilakukan bulan April 2014 kemarin, dimana negara-negara kawasan ASEAN telah menyepakati beberapa poin garis pedoman QAB, yang dari beberapa poin tersebut diantaranya adalah asas resiprokal atau asas kesetaraan dimana jika bank asing berinvestasi di Indonesia, maka bank nasional Indonesia boleh berekspansi pula ke negara-negara yang berekspansi ke Indonesia.

Nah inilah kesempatan bagus bagi Indonesia sendiri, dimana harus lebih kokoh lagi bersinergi dalam rangka menyambut masyarakat ekonomi Asean 2015, kesiapan perbankan nasional untuk berekspansi keluar negri dapat dilihat salah satunya berdasarkan kriteria besaran aset , setidaknya bank yang termasuk kategori Bank Umum Kategori Usaha (BUKU) IV atau modal inti di atas Rp 30 triliun, akan lebih siap menjadi peserta QAB tersebut.

Mungkin di titik inilah yang menjadi pertimbangan oleh Mentri BUMN, Dahlan Iskan, untuk melakukan pembentukan induk usaha atau holding atas perusahaan-perusahaan plat merah terutama di sektor Industri keuangan dalam rangka memperkuat posisi perbankan nasional sendiri. Sebagaimana hal itu juga terlihat sudah menjadi trend di regional Asean sendiri, seperti Khasanah (BUMN Malaysia) dan Temasek (BUMN Singapura), yang sejak 5 tahun terakhir gencar sekali melakukan hal tersebut, tujuanya terbaca sangat jelas, yaitu untuk mengefisiensi BOPO dan fokus Cross Selling (Chaneling) dalam rangka persiapan menjelang CAFTA 2015 ini.

Penataan ulang ini memang sangat perlu dilakukan untuk memperkuat permodalan bank-bank lokal dalam menghadapi era integrasi ekonomi ASEAN tahun 2015, karena di saat itu si pemegang aliran modal yang paling kuatlah yang notabene akan memenangkan game ini. Yap, langkahnya sudah bagus, tetapi masih butuh banyak pengkajian lagi untuk keadaan yang lebih baik tentunya, semoga pemerintah selanjutnya lebih baik lagi dalam menghadapi dan mengatasi persoalan ini.

Sumber Kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar